Buat kalian yang jadi art dan creative director, siapa tahu ada gunanya...
Kalau seorang remaja menghabiskan Rp 150.000 seminggu untuk dugem, bisa dibayangkan berapa penghasilan orang tuanya. "Rasanya tidak mungkin bila cuma tiga atau empat juta rupiah sebulan," ujar seorang peserta seminar yang datang ke peluncuran Pulsa Remaja III, yang merupakan penelitian gaya hidup remaja di kota besar Indonesia oleh Surindo belum lama ini.
Orang-orang segenerasi saya tentu saja gelagapan begitu ditanya apa artinya dugem. Itu adalah murni istilah remaja zaman sekarang. Sebagai dosen, saya tentu merasakan arus perubahan sikap remaja dari masa ke masa. Yang jelas, makin hari usia mahasiswa saya makin muda. Dan bagi kaum muda ini, sering saya menemukan jawaban yang aneh-aneh kalau mereka tak bisa menjawab pertanyaan kala ujian. Di antaranya adalah: "Au ah, gelaaap!"
Mahasiswa saya yang agak tua tentu tak seberani itu. Kalau tak bisa menjawab umumnya mereka cuma bertanya apa boleh buka buku. Kalau tak boleh juga, jawabannya ya mereka kosongkan begitu saja. Apakah yang muda cenderung menjadi kurang sopan? Saya kurang tahu persis. Tapi yang jelas, setiap zaman punya anaknya sendiri yang punya bahasa gaul yang tidak sama dengan generasi di atasnya. Maka, wajar bila banyak pemasar yang gagal dalam membidik remaja. Rata-rata mereka berpikir remaja itu sama dari masa ke masa. Potret remaja yang dimilikinya adalah remaja kala ia masih remaja. Padahal remaja adalah the moving target, yang bergeser dari waktu ke waktu.
Betapa sulitnya membidik remaja dapat dilihat dari jatuh bangunnya pengelola media menangani remaja. Ada yang cuma bertahan tiga bulan, setahun, tiga tahun, atau paling lama sepuluh tahun. Tahun 1970-an ada empat media remaja besar yang cukup disegani, yaitu Semangat (penerbit Kanisius), Sahabat Pena (Perum Pos), Aktuil, dan Midi (Gramedia). Semuanya gugur dalam waktu yang singkat sekali. Lalu ada lagi Ria Film, Team, Ria Remaja, Junior, Adam & Eva, Top, Berita Remaja, Pos Muda-Mudi, Sonata, Halo, Intan, Sikandi, Indonesiaku, Nona, Mitra, Karina. Bahkan Mode yang dikerjakan oleh mantan orang-orang Gadis ternyata cuma sukses sebentar lalu hilang begitu saja. Praktis, yang sampai hari ini masih dapat hidup cuma empat media, yaitu Gadis, Hai, Aneka Yess dan Kawanku. Mereka pun bukan tanpa kesulitan dalam mempelajari apa maunya remaja dari waktu ke waktu. Suatu ketika mereka suka sepeda mini, naik gunung, motor cross, lalu basket, sepak bola, lalu beralih ke Formula One. Pokoknya mereka berubah terus.
Membidik dengan bijak mereka yang memberontak
Maka untuk menangani remaja dibutuhkan suatu kearifan, membidik dengan bijak, bukan memanipulasinya untuk kepentingan sesaat. Remaja pada dasarnya adalah spesies yang sedang mengalami pergeseran dari masa kanak-kanak menjadi orang dewasa. Pada masa perubahan itu mereka akan mengalami konflik, pemberontakan, rasa tidak nyaman, tidak pasti, dan mencari petunjuk terhadap apa yang harus dilakukannya; bergeser dari orang tua ke teman, media massa (khususnya radio dan majalah), dan tentu saja melalui iklan. Ketika melihat teman-temannya memiliki otonomi, mereka masih harus kembali meminta restu dari orang tuanya. Rasa tak nyaman ini hendaknya tak diperkeruh.
Kalau diperhatikan, ada dua instrumen yang biasa digunakan untuk mendeteksi alur perubahan remaja dari waktu ke waktu, yaitu melakukan hubungan sedekat mungkin dan melakukan riset yang dapat dipertanggungjawabkan. Surindo tampaknya berhasil mendeteksi delapan segmen psikografis remaja di perkotaan, yang masing-masing mereka beri nama:
1. Remaja funky (15%),
2. Remaja Be-Te (11,7%),
3. Remaja Asal (8,6%),
4. Remaja Plin-Plan (22,7%),
5. Remaja Boring (16,8%),
6. Remaja Ngirit (14,8%), dan
7. Remaja Cool (10,3%).
Sebagian segmen ini kelihatan memberi harapan. Mereka sangat berhati-hati dalam berbelanja, tak mudah tertipu, mencari informasi sebelum membeli, terencana kritis, punya rasa percaya diri, dan punya perhatian terhadap masalah-masalah sosial. Tapi, sebagian lagi terlihat cemas, ragu-ragu, tak konsisten, tak punya rencana masa depan, bahkan tak percaya orang lain sehingga tak membuka diri atau berorganisasi. Wajar kalau dalam berbelanja mereka sering tertipu (Remaja Be-Te). Bahkan ada yang percaya dirinya rendah, tapi gengsinya tinggi sekali (Remaja Asal).
Sampai di sini mungkin Anda sudah menemukan apa artinya dugem. Betul, dunia gemerlap. Ini adalah kebiasaan anak-anak gaul di perkotaan yang high maintenance, barangkali....