Gue anak pertama dari tiga bersaudara. Menurut gue, jadi anak pertama tuh gak terlalu enak. Kadang-kadang Orang Tua gue lebih terfokus sama adik-adik gue. Kata Orang Tua gue, gue ini udah besar, jadi gak perlu terlalu dijaga lagi kaya adik-adik gue. Nama gue Nessa.
Tapi kalau gue sih maunya dimanja sama Orang Tua gue. Ya... apa boleh dikata, mungkin nasib anak pertama kaya gini kali ya. Tapi dulu, sebelum ada adik-adik gue. Gue sangat disayang Orang Tua gue. Mungkin karena anak pertama.
Sekarang gue duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sehari-harinya gue hanya terfokus pada Sekolah gue aja. Gak ada yang lain, apalagi cowok. Makannya, temen-temen gue selalu bilang, “Kapan loe punya cowo?”
Tapi kalau gue sih maunya dimanja sama Orang Tua gue. Ya... apa boleh dikata, mungkin nasib anak pertama kaya gini kali ya. Tapi dulu, sebelum ada adik-adik gue. Gue sangat disayang Orang Tua gue. Mungkin karena anak pertama.
Sekarang gue duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sehari-harinya gue hanya terfokus pada Sekolah gue aja. Gak ada yang lain, apalagi cowok. Makannya, temen-temen gue selalu bilang, “Kapan loe punya cowo?”
Tanggapan gue sih biasa aja. Gue gak ngiri sama temen-temen gue. Apalagi si Lauren. Temen gue yang satu ini paling ngebet banget gue punya cowok
Alasannya dia sih, biar gue gak sendiri lagi kalau jalan sama mereka. Soalnya, temen-temen gue kalau pergi jalan-jalan pasti selalu membawa pasangannya masing-masing.
Kata temen-temen gue, bukannya gue sombong ya... Hehehe... Gue itu cantik, putih, mulus, sexy dan pinter, tapi kenapa belum punya cowok?
Akhhh... masa bodoh sama omongan temen-temen gue. Yang penting gue happy.
“Nessa!” Panggil Olif. Olif ini temen gue dari kecil, dia juga satu sekolah sama gue.
“Apa'an sih loe? Pagi-pagi udah bikin telinga gue budek, gara-gara suara loe yang cempreng itu.”
“Gue pinjem buku IPA loe dong.”
“Buku IPA gue di pinjem si Putra.”
“Putra yang mana ya?”
“Itu loh, anak baru di kelas Akuntansi. Loe ambil aja sama dia.”
“Ok deh.” Olif pergi menuju Putra.
Biasanya temen-temen gue kalau mau meminjam buku, pasti sama gue. Karena menurut mereka, buku gue itu rapih, dan tulisannya mudah dibaca. Bukannya gue sombong, tapi memang itu menurut mereka.
Bukan cuma Olif yang jadi temen setia gue. Roro, dan Agni.
Temen gue yang namanya Roro itu adalah anak keturunan keraton Solo. Namanya aja, Raden Roro Pangestika. Ahahaha.... Namanya panjang sekali. Roro itu anak yang asyik untuk diajak berdebat. Maklumlah si Roro ini juara debat tingkat SMK Nasional. Walaupun nada bicaranya agak berlogat Jawa.
Nah, kalau Agni ini temen gue yang paling modis. Gaya pakaiannya aja selalu mengikuti tren sekarang. Dia juga seorang model disalah satu majalah remaja. Postur tubuhnya memenuhi persyaratan buat jadi model, bukannya hanya postur tubuhnya saja yang memenuhi persyaratan, tapi wajahnya juga blasteran Indonesia Belanda.
Wih! Pokoknya gue beruntung banget deh punya temen kaya mereka. Selain itu juga mereka asyik untuk diajak bercanda.
Yang paling gokil diantara gue, Roro, dan Agni adalah Olif.
Olif sering ngebanyol apa aja yang ada di pikirannya pasti ia keluarkan. Memang agak ceplas-ceplos. Asyik juga sih...
Mereka ini yang jadi temen pelepas bosan gue kalau lagi gak ada kerjaan. Mereka terus mendesak gue buat punya cowok. Biarin ajalah, berarti mereka peduli sama gue.
Hari ini rencananya gue mau ke Bintaro, untuk silahturahmi sama sanak saudara disana. Mumpung hari minggu. Jadi, gue libur sekolah. Kapan lagi gue bisa pergi ke rumah saudara gue. Hehee...
Kerjaan gue kalau sudah sampai di rumah saudara, biasanya ngabisin makanan yang ada disana. Padahal, body gue ini kecil. Mau gue makan sebanyak apapun, body gue gak akan melar kaya karet.
Berbeda banget sama agni. Agni selalu diet untuk menjaga bodynya supaya gak melar. Setiap harinya jika sekolah, ia harus membawa Apel merah untuk cemilan. Dari pada nyemil yang sembarangan mendingan nyemil apel yang sehat. Begitu katanya Agni.
Apa kenyang ya, hanya makan Apel saja? Pikir gue sih gak akan kenyang. Apalagi kalau yang punya perut kaya gue. Wah, gak akan mungkin kenyang kalau hanya dengan satu Apel aja buat ngemil. Cemilan gue sehari-hari itu biasanya makanan-makanan yang ngenyangin perut gue, contohnya kaya roti.
Macet sekali Ibu Kota hari ini. Gak kaya hari biasanya. Gue sih sudah terbiasa dengan yang namanya macet. Silahturahmi berjalan lancar banget nie.
Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Itu peribahasa yang cocok buat gue.
Pasalnya, selain gue silahturahmi sama saudara gue, gue juga kenalan sama cowok yang rumahnya tepat disamping rumah saudara gue. Lumayan sih orangnya. Hitam manis gitu deh. Tapi kalau seandainya gue jadi ceweknya, pasti hasilnya kaya kopi susu, dia kopinya yang berwarna hitam, gue susunya yang berwarna putih.
Akhh masa bodoh deh, toh juga dia hanya temen gue dan gak lebih dari itu.
Dari situ gue sama dia bertukar nomor handphone. Sampai sekarang gue masih berkirim Message sama dia. Dia itu Rangga. Kalau dilihat dari rumahnya dan gaya dia berpakaian, seperti orang berduit.
Siapa tahu aja gue salah penglihatan. Dia baik sama gue, sering juga gue jalan bareng sama dia, juga teman-temannya.
Rangga itu cowok terlucu yang bisa bikin gue selalu tersenyum kalau disamping dia. Bukan karena dia badut yang lucu. Tapi karena tutur katanya yang selalu ngebanyol.
Sekolah gue pagi ini mengadakan acara Pensi (Pentas Seni). Wih acaranya rame banget. Sampai telinga gue agak pengang dengan suara musik anak-anak Band.
“Nessa, dari mana aja loe?” Tanya Agni yang waktu berpakaian sangat modis.
Karena hari ini ada acara Pensi, jadi seluruh siswa-siswi boleh memakai pakaian bebas.
“Gue baru sampai nie.” Ujar gue yang kala itu lagi ngosngosan.
“Kok, loe baru sampai sih?” Tambah si putri keraton Solo, Roro.
“Akhhhh... ceritanya panjang kaya kereta, lagian juga gue males ceritanya. Gak penting!”
Ditengah suara bising musik anak Band, mereka pergi menuju toilet, untuk sekedar berhias diri merapihkan rambut.
“Oh iya, Nes. Hari minggu kemarin loe kemana? Gue telepon ke handphone loe gak diangkat-angkat.” Celetuk Olif.
Nessa menyisir rambutnya, “Gue ke Bintaro.”
“Hah! Ke Bintaro? Ngapain loe kesana?” Tanya Roro, Agni, dan Olif.
“Biasa aja dong, gak usah sampai keget kaya begitu.”
“Ini moment terlangka yang pernah gue denger. Secara loe itukan paling males keluar rumah, apalagi sampai ke Bintaro.” Agni mengoceh.
“Biarin dong, sekali-kali gue main ke tempat saudara gue.”
“Oh loe ketempat saudara loe.”
“Iya, lumayan juga gue disana dapet kenalan.”
Mata Roro, Agni, dan Olif lagsung melotot, “Hah! Kenalan? Cowok ya.”
“Yaiyalah cowok. Masa gue kenalan sama banci.”
“Ganteng gak nie?” Timbal Roro.
“Lumayan sih, dia berkulit hitam Tapi manis kok.”
“ Bagus deh! Berarti temen gue ini ada kemajuan memikat hati cowok. Ahahaha....” Ledek Olif.
“Apaan sih loe, gue sama dia juga hanya berteman dan gak lebih.”
“Siapa tahu aja, dari berteman jadi berpacaran.” Agni menambahkan.
“Udah de, jangan selalu ngeledek gue.” Nessa agak sedikit jengkel.
“Nessa, Nessa... Kapan sih loe punya cowok. Gak bosen apa loe ngejomblo terus?” Tanya Roro.
“Gak ahh.. Gue sih biasa aja. Mau gue jomblo atau enggak. Yang penting gue happy dengan kesendirian gue.”
“Tapi sampai kapan loe mau jomblo terus kaya gini?” Sahut Agni.
“Sampai gue nemuin cowok yang pas dihati gue. Hehe...”
“Sok puitis loe. Udah ah... ayo kita nonton pensi lagi.” Ajak Olif sambil keluar dari toilet.
Kalau udah ngomongin masalah cowok, temen-temen gue pasti langsung nyerocos kaya kereta. Gak ada berhentinya.
Bagi temen-temen gue, obrolan tentang cowok itu adalah obrolan yang menarik buat mereka. Gue juga gak tahu apa yang menarik dari obrolan itu.
Sepulang dari acara Pensi, temen-temen gue mengajak pergi ke Mall. Biasa, naluri cewek. Bawaannya pengen shoopping mulu. Karena perut sudah keroncongan, jadi gue dan yang lainnya memutuskan untuk makan di restoran Jepang.
Setelah perut kenyang, kita melanjutkan perjalanan mencari barang yang ingin dibeli. Sampai di sebuah butik baju, Roro dengan logat Jawanya mencetuskan kata-kata yang tidak enak didengar oleh sang pemilik butik.
“Widiiihh! Mahal amat... Kaos kaya gini aja harganya sampai Rp.200.000. Kalau gue beli di pasar pasti harganya cuman Rp.50.000.
Agni mendekap mulut Roro. Lalu dilepaskan, “Roro! Kalau ngomong jangan kenceng-kenceng! Nanti yang punya butik denger, kan gak enak.”
“Biarin aja sih, memang kenyataannya begitukan.” Roro mengelak.
“Tapikan kita gak boleh menyinggung perasaan yang punya butik.”
“Iya deh, gue kalah.” Roro mengalah.
Nessa melihat sebuah gaun yang sangat indah. Warnanya putih bersih, dihiasi dengan payet yang berwarna. Begitu dilihat harganya, Rp.1.500.000. Nessa tlangsung tidak jadi membelinya.
“Nessa, Kenapa loe balikin lagi tuh baju?” Tanya Olif.
“Gak deh, Makasih. Kalau gue beli tuh gaun, bisa-bisa uang saku gue dipotong sama nyokap gue selama satu bulan.” Ujar Nessa.
Mendegar ucapan Nessa, Teman-temannya yang lain langsung terdiam. Mereka melanjutkan menyusuri butik yang lainnya.
Di sebuah butik yang tidak jauh dari butik yang sebelumnya, Nessa menemukan pakaian yang ia inginkan. Begitu Nessa mengambil Pakaian tersebut, tangannya berbarengan dengan tangan seorang cowok yang juga akan mengambil pakaian tersebut.
“Eh, Gue duluan yang ngambil nih!” Bentak Nessa.
“Tapi, gue duluan yang ngeliat nie pakaian.” Elak si cowok.
Akhirnya, pakaian tersebut diberikan kepada Nessa, Cowok yang tadi mengalah.
“Kalau gue gak liat loe cewek, udah gue...”
“Udah gue apa?” Nessa menantang.
Cowok tadi kesal, lalu pergi meninggakan Nessa.
Di belinya oleh Nessa baju tadi. Nessa pun agak kesal dengan kelakuan cowok tadi.
“Ih, ngeselin banget sih tuh cowok, bikin gue gak emut blanja ajah!”
Nessa segera mengajak temannya yang lain untuk pulang, karena ia sudah tidak emut untuk belanja lagi.
Apa boleh buat, teman-teman Nessa hanya bisa menuruti keinginan Nessa. Karena mereka tahu, Nessa sedang bermuka jutek. Kalau tidak dituruti, marahnya Nessa akan semakin parah.
Gue sih gak mempermasalahkan apa yang terjadi tadi di Mall. Tapi yang bikin gue kesel itu, ya... cowok tadi. Gayanya aja selangit, tampang boleh permak kayanya, terus gak sopan lagi sama cewek. Amit-amit deh gue punya cowok kaya dia. Jangan sampai.
Alasannya dia sih, biar gue gak sendiri lagi kalau jalan sama mereka. Soalnya, temen-temen gue kalau pergi jalan-jalan pasti selalu membawa pasangannya masing-masing.
Kata temen-temen gue, bukannya gue sombong ya... Hehehe... Gue itu cantik, putih, mulus, sexy dan pinter, tapi kenapa belum punya cowok?
Akhhh... masa bodoh sama omongan temen-temen gue. Yang penting gue happy.
“Nessa!” Panggil Olif. Olif ini temen gue dari kecil, dia juga satu sekolah sama gue.
“Apa'an sih loe? Pagi-pagi udah bikin telinga gue budek, gara-gara suara loe yang cempreng itu.”
“Gue pinjem buku IPA loe dong.”
“Buku IPA gue di pinjem si Putra.”
“Putra yang mana ya?”
“Itu loh, anak baru di kelas Akuntansi. Loe ambil aja sama dia.”
“Ok deh.” Olif pergi menuju Putra.
Biasanya temen-temen gue kalau mau meminjam buku, pasti sama gue. Karena menurut mereka, buku gue itu rapih, dan tulisannya mudah dibaca. Bukannya gue sombong, tapi memang itu menurut mereka.
Bukan cuma Olif yang jadi temen setia gue. Roro, dan Agni.
Temen gue yang namanya Roro itu adalah anak keturunan keraton Solo. Namanya aja, Raden Roro Pangestika. Ahahaha.... Namanya panjang sekali. Roro itu anak yang asyik untuk diajak berdebat. Maklumlah si Roro ini juara debat tingkat SMK Nasional. Walaupun nada bicaranya agak berlogat Jawa.
Nah, kalau Agni ini temen gue yang paling modis. Gaya pakaiannya aja selalu mengikuti tren sekarang. Dia juga seorang model disalah satu majalah remaja. Postur tubuhnya memenuhi persyaratan buat jadi model, bukannya hanya postur tubuhnya saja yang memenuhi persyaratan, tapi wajahnya juga blasteran Indonesia Belanda.
Wih! Pokoknya gue beruntung banget deh punya temen kaya mereka. Selain itu juga mereka asyik untuk diajak bercanda.
Yang paling gokil diantara gue, Roro, dan Agni adalah Olif.
Olif sering ngebanyol apa aja yang ada di pikirannya pasti ia keluarkan. Memang agak ceplas-ceplos. Asyik juga sih...
Mereka ini yang jadi temen pelepas bosan gue kalau lagi gak ada kerjaan. Mereka terus mendesak gue buat punya cowok. Biarin ajalah, berarti mereka peduli sama gue.
Hari ini rencananya gue mau ke Bintaro, untuk silahturahmi sama sanak saudara disana. Mumpung hari minggu. Jadi, gue libur sekolah. Kapan lagi gue bisa pergi ke rumah saudara gue. Hehee...
Kerjaan gue kalau sudah sampai di rumah saudara, biasanya ngabisin makanan yang ada disana. Padahal, body gue ini kecil. Mau gue makan sebanyak apapun, body gue gak akan melar kaya karet.
Berbeda banget sama agni. Agni selalu diet untuk menjaga bodynya supaya gak melar. Setiap harinya jika sekolah, ia harus membawa Apel merah untuk cemilan. Dari pada nyemil yang sembarangan mendingan nyemil apel yang sehat. Begitu katanya Agni.
Apa kenyang ya, hanya makan Apel saja? Pikir gue sih gak akan kenyang. Apalagi kalau yang punya perut kaya gue. Wah, gak akan mungkin kenyang kalau hanya dengan satu Apel aja buat ngemil. Cemilan gue sehari-hari itu biasanya makanan-makanan yang ngenyangin perut gue, contohnya kaya roti.
Macet sekali Ibu Kota hari ini. Gak kaya hari biasanya. Gue sih sudah terbiasa dengan yang namanya macet. Silahturahmi berjalan lancar banget nie.
Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Itu peribahasa yang cocok buat gue.
Pasalnya, selain gue silahturahmi sama saudara gue, gue juga kenalan sama cowok yang rumahnya tepat disamping rumah saudara gue. Lumayan sih orangnya. Hitam manis gitu deh. Tapi kalau seandainya gue jadi ceweknya, pasti hasilnya kaya kopi susu, dia kopinya yang berwarna hitam, gue susunya yang berwarna putih.
Akhh masa bodoh deh, toh juga dia hanya temen gue dan gak lebih dari itu.
Dari situ gue sama dia bertukar nomor handphone. Sampai sekarang gue masih berkirim Message sama dia. Dia itu Rangga. Kalau dilihat dari rumahnya dan gaya dia berpakaian, seperti orang berduit.
Siapa tahu aja gue salah penglihatan. Dia baik sama gue, sering juga gue jalan bareng sama dia, juga teman-temannya.
Rangga itu cowok terlucu yang bisa bikin gue selalu tersenyum kalau disamping dia. Bukan karena dia badut yang lucu. Tapi karena tutur katanya yang selalu ngebanyol.
Sekolah gue pagi ini mengadakan acara Pensi (Pentas Seni). Wih acaranya rame banget. Sampai telinga gue agak pengang dengan suara musik anak-anak Band.
“Nessa, dari mana aja loe?” Tanya Agni yang waktu berpakaian sangat modis.
Karena hari ini ada acara Pensi, jadi seluruh siswa-siswi boleh memakai pakaian bebas.
“Gue baru sampai nie.” Ujar gue yang kala itu lagi ngosngosan.
“Kok, loe baru sampai sih?” Tambah si putri keraton Solo, Roro.
“Akhhhh... ceritanya panjang kaya kereta, lagian juga gue males ceritanya. Gak penting!”
Ditengah suara bising musik anak Band, mereka pergi menuju toilet, untuk sekedar berhias diri merapihkan rambut.
“Oh iya, Nes. Hari minggu kemarin loe kemana? Gue telepon ke handphone loe gak diangkat-angkat.” Celetuk Olif.
Nessa menyisir rambutnya, “Gue ke Bintaro.”
“Hah! Ke Bintaro? Ngapain loe kesana?” Tanya Roro, Agni, dan Olif.
“Biasa aja dong, gak usah sampai keget kaya begitu.”
“Ini moment terlangka yang pernah gue denger. Secara loe itukan paling males keluar rumah, apalagi sampai ke Bintaro.” Agni mengoceh.
“Biarin dong, sekali-kali gue main ke tempat saudara gue.”
“Oh loe ketempat saudara loe.”
“Iya, lumayan juga gue disana dapet kenalan.”
Mata Roro, Agni, dan Olif lagsung melotot, “Hah! Kenalan? Cowok ya.”
“Yaiyalah cowok. Masa gue kenalan sama banci.”
“Ganteng gak nie?” Timbal Roro.
“Lumayan sih, dia berkulit hitam Tapi manis kok.”
“ Bagus deh! Berarti temen gue ini ada kemajuan memikat hati cowok. Ahahaha....” Ledek Olif.
“Apaan sih loe, gue sama dia juga hanya berteman dan gak lebih.”
“Siapa tahu aja, dari berteman jadi berpacaran.” Agni menambahkan.
“Udah de, jangan selalu ngeledek gue.” Nessa agak sedikit jengkel.
“Nessa, Nessa... Kapan sih loe punya cowok. Gak bosen apa loe ngejomblo terus?” Tanya Roro.
“Gak ahh.. Gue sih biasa aja. Mau gue jomblo atau enggak. Yang penting gue happy dengan kesendirian gue.”
“Tapi sampai kapan loe mau jomblo terus kaya gini?” Sahut Agni.
“Sampai gue nemuin cowok yang pas dihati gue. Hehe...”
“Sok puitis loe. Udah ah... ayo kita nonton pensi lagi.” Ajak Olif sambil keluar dari toilet.
Kalau udah ngomongin masalah cowok, temen-temen gue pasti langsung nyerocos kaya kereta. Gak ada berhentinya.
Bagi temen-temen gue, obrolan tentang cowok itu adalah obrolan yang menarik buat mereka. Gue juga gak tahu apa yang menarik dari obrolan itu.
Sepulang dari acara Pensi, temen-temen gue mengajak pergi ke Mall. Biasa, naluri cewek. Bawaannya pengen shoopping mulu. Karena perut sudah keroncongan, jadi gue dan yang lainnya memutuskan untuk makan di restoran Jepang.
Setelah perut kenyang, kita melanjutkan perjalanan mencari barang yang ingin dibeli. Sampai di sebuah butik baju, Roro dengan logat Jawanya mencetuskan kata-kata yang tidak enak didengar oleh sang pemilik butik.
“Widiiihh! Mahal amat... Kaos kaya gini aja harganya sampai Rp.200.000. Kalau gue beli di pasar pasti harganya cuman Rp.50.000.
Agni mendekap mulut Roro. Lalu dilepaskan, “Roro! Kalau ngomong jangan kenceng-kenceng! Nanti yang punya butik denger, kan gak enak.”
“Biarin aja sih, memang kenyataannya begitukan.” Roro mengelak.
“Tapikan kita gak boleh menyinggung perasaan yang punya butik.”
“Iya deh, gue kalah.” Roro mengalah.
Nessa melihat sebuah gaun yang sangat indah. Warnanya putih bersih, dihiasi dengan payet yang berwarna. Begitu dilihat harganya, Rp.1.500.000. Nessa tlangsung tidak jadi membelinya.
“Nessa, Kenapa loe balikin lagi tuh baju?” Tanya Olif.
“Gak deh, Makasih. Kalau gue beli tuh gaun, bisa-bisa uang saku gue dipotong sama nyokap gue selama satu bulan.” Ujar Nessa.
Mendegar ucapan Nessa, Teman-temannya yang lain langsung terdiam. Mereka melanjutkan menyusuri butik yang lainnya.
Di sebuah butik yang tidak jauh dari butik yang sebelumnya, Nessa menemukan pakaian yang ia inginkan. Begitu Nessa mengambil Pakaian tersebut, tangannya berbarengan dengan tangan seorang cowok yang juga akan mengambil pakaian tersebut.
“Eh, Gue duluan yang ngambil nih!” Bentak Nessa.
“Tapi, gue duluan yang ngeliat nie pakaian.” Elak si cowok.
Akhirnya, pakaian tersebut diberikan kepada Nessa, Cowok yang tadi mengalah.
“Kalau gue gak liat loe cewek, udah gue...”
“Udah gue apa?” Nessa menantang.
Cowok tadi kesal, lalu pergi meninggakan Nessa.
Di belinya oleh Nessa baju tadi. Nessa pun agak kesal dengan kelakuan cowok tadi.
“Ih, ngeselin banget sih tuh cowok, bikin gue gak emut blanja ajah!”
Nessa segera mengajak temannya yang lain untuk pulang, karena ia sudah tidak emut untuk belanja lagi.
Apa boleh buat, teman-teman Nessa hanya bisa menuruti keinginan Nessa. Karena mereka tahu, Nessa sedang bermuka jutek. Kalau tidak dituruti, marahnya Nessa akan semakin parah.
Gue sih gak mempermasalahkan apa yang terjadi tadi di Mall. Tapi yang bikin gue kesel itu, ya... cowok tadi. Gayanya aja selangit, tampang boleh permak kayanya, terus gak sopan lagi sama cewek. Amit-amit deh gue punya cowok kaya dia. Jangan sampai.