Dahulu semuanya indah. Dengan satu hektar tanah sawahnya Pak Walati tidak perlu khawatir keluarganya akan kelaparan. Sebab dari hamparan tanah subur tersebut bumi menyediakan semua yang dia butuhkan. Dan dia juga pernah bermimpi untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai tinggi. Dan bermimpi melihat anak-anaknya berhasil menjadi orang besar. Tapi kemudian semuanya berakhir dengan tidak indah.
Bencana bermula dari rencana pemerintah untuk membangun sebuah waduk di tahun 1985. Dijanjikan waduk tersebut dapat berfungsi untuk mengendalikan banjir, mengatur irigasi dan menghasilkan tenaga listrik berkekuatan 22,5 megawatt dan dapat menampung air untuk kebutuhan 70 hektar sawah disekitarnya. Waduk Kedung Ombo dibangun tahun 1987 dengan pinjaman dana dari World Bank sebesar 156 juta dolar Amerika Serikat. Waduk menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Grobogan dan Boyolali. Dan Pak Walati hanya satu dari 5268 keluarga yang harus angkat kaki dari tanah yang membesarkannya.
Seperti sudah diduga, pemerintah menggunakan segala cara untuk mengenyahkan warga yang sudah turun temurun mendiami bumi mereka. Warga korban penggusuran mendapat teror, intimidasi dan penyiksaan fisik dalam upaya mereka menentang pembangunan waduk tersebut. Aparat juga mendatangi rumah-rumah penduduk dan memaksa warga memberikan cap sidik jari berupa persetujuan untuk menerima ganti rugi serta siap untuk ditransmigrasikan. Selain teror fisik warga juga mendapat cap eks tapol di KTP bagi yang menentang penggusuran tersebut. Warga dipaksa menerima Rp 250,-/m² sebagai nilai atas tanah mereka, meski Menteri Dalam Negeri waktu itu Soeparjo Rustam menyatakan ganti rugi Rp 3.000,-/m².
Protes segera digemakan namun suara mereka tidak terlalu berharga untuk didengarkan pemerintah. Beberapa aktivis seperti Romo Mangunwijaya dan pengasuh Pondok Pesantren Pebelan Magelang, K.H. Hammam Ja'far berusaha mendampingi warga yang menuntut hak mereka yang terampas. Namun waduk mulai diairi pada 14 Januari 1989, akibatnya warga yang bertahan kemudian terpaksa tinggal di tengah-tengah genangan air.
George Junus Aditjondro dalam tesisnya menyatakan dalam hal pembangunn Waduk Kedung Ombo, sikap pemerintah didasarkan atas pertimbangan komersil. Yakni alasan pemerintah atau provinsi Jawa Tengah lebih kepada rencana mereka untuk mengatur wilayah itu. Mereka ingin menyewakan tanah itu kepada perusahaan swasta untuk melakukan budidaya ikan atau menyewakan feri kepada turis yang mengunjungi waduk itu.
Sementara Johnny Simanjuntali seorang aktivis yang telah memperjuangkan hak-hak korban Kedung Ombo menegaskan bahwa jika keadilan ingin ditegakkan, maka hak penduduk desa harus diprioritaskan dalam tata guna waduk tersebut. Tetapi sekarang, situasi yang ada justru sebaliknya.
Waduk ini akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto tanggal 18 Mei 1991, dan di negeri ini keadilan tidak berlaku bagi rakyat kecil. Tidak sekalipun. Seperti sebuah catatan Goenawan Mohammad: orang kecil adalah orang yang, pada akhirnya, terlalu sering kalah. (berbagai sumber).