Situs Purbakala Sangiran


Untuk dapat masuk ke sana, setiap orang hanya dikenakan biaya tiket Rp
1.500. Tetapi jika dibandingkan dengan hasil yang akan diperoleh, biaya
tiket yang dikeluarkan tidak akan ada artinya. Karena, di museum itu
pengunjung bisa melihat dari dekat 13.086 koleksi fosil manusia purba,
binatang yang hidup pada masa itu, hingga peralatan yang digunakannya.

KALIJAMBE, SRAGEN
– Kawasan situs Sangiran merupakan salah satu objek wisata ilmiah yang
sangat menarik untuk dikunjungi. Ada potensi pariwisata yang tersimpan
di sini. Sayangnya, penilaian itu tidak mampu menarik minat wisatawan,
baik lokal maupun asing.

Pada 2002 hanya 25.000 orang yang
tercatat datang ke Sangiran. Jumlah itu didominasi pelajar dan
mahasiswa. Lebih miris lagi, angka tersebut menunjukkan jumlah turis
kian menurun dari tahun ke tahun. Beberapa tahun sebelumnya, situs
prasejarah ini sempat menjadi primadona pariwisata khususnya bagi
Kabupaten Sragen. Kala itu, pengunjung Situs Sangiran pernah mencapai
100.000 orang. Sejak krisis multidemensi, jumlah pengunjung pun terus
berkurang.

Sangiran adalah daerah pedalaman yang terletak di lereng
kaki Gunung Lawu, sekitar 17 km ke arah utara dari kota Solo. Secara
administratif terletak di Kabupaten Sragen, dan sebagian terletak di
Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah.
Luas wilayah situs yang

sudah mendapat pengakuan internasional ini, kurang lebih 56 km2 yang
mencakup tiga kecamatan di Kabupaten Sragen, yaitu Kecamatan Kalijambe,
Gemolong dan Plupuh serta Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar.
Di
kawasan ini, Anda bisa menemukan banyak informasi soal sisa-sisa
kehidupan masa lampau. Selain itu, terdapat informasi lengkap tentang
sejarah kehidupan manusia purba dengan segala hal yang ada di
sekelilingnya. Dari soal tempat hidup, pola kehidupannya, satwa yang
hidup bersamanya sampai proses terjadinya bentang alam dalam kurun
waktu tidak kurang dari 2 juta tahun yang lalu.

”Secara stratigrafis
situs ini merupakan situs manusia purba berdiri tegak terlengkap di
Asia yang kehidupannya dapat dilihat secara berurutan dan tanpa
terputus sejak 2 juta tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang lalu
yaitu sejak Kala Pliosen Akhir hingga akhir Pleistosen Tengah,” papar
Elfrida Anjarwati, salah seorang arkeolog Museum Sangiran, kepada SH,
Sabtu (27/9) siang, di sela press tour bersama Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata, I Gede Ardhika.

Dia menjelaskan, berdasarkan penelitian
Sangiran awalnya adalah sebuah bukit yang dikenal dengan sebutan ”Kubah
Sangiran”. Kubah itu kemudian tererosi pada bagian puncaknya sehingga
membentuk sebuah depresi. Pada depresi itulah, tersingkap
lapisan-lapisan tanah secara alamiah.. Dari sinilah para ahli
mendapatkan informasi yang sangat lengkap tentang kehidupan masa lampau
Pada
1977 Sangiran dan sekitarnya ditetapkan sebagai daerah cagar budaya.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
070/0/1977, tanggal 5 Maret 1977. Selanjutnya keputusan itu dikuatkan
oleh Komite World Heritage UNESCO pada peringatannya yang ke-20 di
Merida, Mexico juga menetapkan kawasan Sangiran sebagai kawasan World
Heritage (warisan dunia) No. 593.

Sayang, selain situs bersejarah,
Sangiran nyaris tak punya aspek lain yang diandalkan untuk menarik
pengunjung. Apabila Anda datang ke Sangiran, jangan berharap untuk
mendapatkan suasana lingkungan yang indah dan tertata rapi. Harapan itu
sebaiknya dibuang jauh-jauh. Karena, memasuki daerah Sangiran berarti
memasuki daerah terbuka yang tandus dan kering (terlebih jika datang
pada musim kemarau). Kehidupan Sangiran didominasi kegiatan penduduknya
membuat handicraft dari batu. Hasil keterampilan mereka berupa kapak
dari batu yang menjadi bawaan manusia prasejarah dulu.
Solusi
Kawasan
Sangiran merupakan salah satu objek wisata ilmiah yang kini tengah
dikembangkan oleh Pemda Sragen. Bupati Sragen H. Untung Wiyono,
menjelaskan bahwa pihaknya sudah mengucurkan dana miliaran rupiah untuk
menjadikan Situs Sangiran menjadi salah satu objek wisata andalan yang
siap dilempar ke pasaran.

Untuk mewujudkan hal itu, kata Untung
Wiyono, ada beberapa langkah yang sudah dilakukan. Pertama dengan
membenahi jalan masuk ke kawasan Sangiran, mendirikan menara pemantau
berlantai tiga yang di atasnya dilengkapi dengan teleskop untuk melihat
Kubah Sangiran. Tidak hanya itu, di lantai dasar juga tersedia home
teater. Wisatawan yang datang akan disuguhi film terbaru tentang
sejarah Sangiran dan manusia prasejarah pertama yang sudah berdiri
tegak dengan durasi 20 menit.

Mereka yang ingin menonton film ini,
hanya ditarik biaya murah, Rp 2.000. Di depan menara pantau, kini juga
tengah dikerjakan tempat-tempat penginapan berupa home stay.
Diharapkan, pembangunan home stay plus pengaspalan jalan, serta
penataan kawasan Sangiran akan dapat memancing minat wisatawan
nusantara dan mancanegara untuk datang ke sana melihat situs prasejarah
terlengkap di Asia tersebut.

Selain itu, kata Bupati Sragen, pada
tahun anggaran 2004 hingga 2005, pihaknya juga tengah mempersiapkan
hutan prasejarah di kawasan Sangiran. Hutan yang diharapkan menjadi
hutan wisata itu akan dibangun di wilayah Pagerejo, dengan luas lahan
230 hektar, yang kini hak kepemilikannya sudah di tangan Pemda Sragen.
Di hutan prasejarah ini, Pemda Sragen ingin menciptakan suasana yang
benar-benar menggambarkan masa lalu atau paling tidak akan menyerupai
jurrasic park.

Setelah puas berkeliling dan melihat wilayah Sangiran
lewat teleskop dan film, ada baiknya untuk datang ke museum Prasejarah
Sangiran, yang terletak di Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Sragen
atau kurang lebih 3 km dari jalan Solo-Purwodadi. Jaraknya tidak jauh
dari lokasi menara pantau, kira-kira 4 km. Untuk dapat masuk ke sana,
setiap orang hanya dikenakan biaya tiket Rp 1.500. Tetapi jika
dibandingkan dengan hasil yang akan diperoleh, biaya tiket yang
dikeluarkan tidak akan ada artinya. Karena, di museum itu pengunjung
bisa melihat dari dekat 13.086 koleksi fosil manusia purba, binatang
yang hidup pada masa itu, hingga peralatan yang digunakannya.
Kepala

Museum Prasejarah Rus Mulya, koleksi yang ada tersimpan pada dua
tempat, 2.931 di antaranya di ruang display, dan 10.875 di gudang
penyimpanan. Masih menurut Rus Mulya, koleksi yang tersimpan di museum
dikategorikan dalam kelompok cetakan fosil manusia, fosil hewan
bertulang belakang (vertebrata), fosil binatang air, batuan, fosil
tumbuhan laut, dan alat-alat batu.

Bahkan, untuk lebih memopulerkan
situs prasejarah ini, Pemda Sragen, mulai tahun ajaran 2004-2005 akan
memasukkan mata pelajaran tentang Sangiran dalam kurikulum pendidikan
pelajar di seluruh Sragen. Pemda Sragen berharap, dengan pengenalan
situs ini oleh kalangan pelajar dan mahasiswa, khususnya yang tengah
menempuh pendidikan di Sragen, nama besar Sangiran tidak akan hilang
dan mudah dilupakan. Selain itu, juga diharapkan lewat pelajaran itu
para pelajar bisa menularkan apa yang diperolehnya kepada kawan,
saudara, atau kenalannya. Karena, ada pepatah yang mengatakan
sepanjang-panjangnya jalan, masih panjang leher ke atas.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money, Edited By Super Berita